Meretas jalan Wawasan Kompleksitas Indonesia

Freedom Institute bersama Pusat Studi Kompleksitas Sosial di Indonesia: Bandung Fe Institute mengadakan diskusi serial yang membedah ke-Indonesia-an dalam perspektif ilmu-ilmu kompleksitas sosial. Diskusi serial ini direncanakan akan berlangsung sebulan sekali. Diskusi  pertama telah dimulai pada hari Rabu, 14 September 2011 yang lalu, dengan mengetengahkan Direktur Bandung Fe Institute, Hokky Situngkir, sebagai pembawa diskusi yang dimoderatori oleh Nirwan A. Arsuka. Dalam diskusi bertema “Menuju Wawasan Kompleksitas untuk Memahami Narasi Kompleksitas Negeri” tersebut diketengahkan berbagai fondasi dasar trans-disiplin yang menjadi latar belakang teoretis dan empiris ilmu-ilmu kompleksitas.

Diskusi dimulai dengan mengjak peserta diskusi untuk mendalami sebuah perdebatan dua filsuf kenamaan, yakni Richard Rorty yang berlatar belakang pemikiran posmodernisme, dan Daniel Dennett yang berlatar belakang ilmu hayat. Keduanya ditunjukkan memperdebatkan ikhwal metafora, yang merupakan fundamen atas apapun risalah observasional umat manusia atas semesta alam dan sosialnya. Hal ini yang kemudian dikontraskan dengan pandangan sistemik dari teori chaos, sebuah teori yang menghebohkan pada dekade 1980-an yang merupakan latar belakang utama dari kajian kompleksitas.

Dari kajian yang disampaikan oleh Hokky Situngkir, ditunjukkan beberapa butir kajian dasar yang menjadi tolok pemikiran utama kajian kompleksitas sosial, antara lain:

  • Hal sederhana dapat menghasilkan keadaan yang sangat kompleks: “chaos tak mesti dihasilkan dari keadaan chaotik”. 

Kehidupan semesta alam dan sosial pada dasarnya berada pada keadaan antara: simpel dan chaos (kacau balau dan serba kebetulan absolut). Hidup bukanlah hal yang sifatnya kebetulan, karena pada dasarnya terdapat pola-pola sederhana yang dapat diobservasi dengan tradisi ilmu pengetahuan warisan abad pencerahan. Secara sistemik, justru hal-hal sederhana, deterministik, dan sebagainya justru dapat melahirkan berbagai hal (dalam proses iteratif) yang sifatnya tak pasti, penuh kejutan, dan seolah-olah acak/random. 

  • Pengukuran yang mutlak akurat itu tak mungkin.

Akurasi merupakan hal yang mustahil mengingat begitu banyaknya ketidakpastian dalam sistem, baik sistem alamiah maupun sosial. Ini yang memberikan perspektif baru akan kesadaran sains dan matematika akan batasan-batasannya sebagai produk budaya manusia. Pada akhirnya, sains mesti “mengalah” pada skalabilitas dalam berbagai pengukuran yang dilakukannya atas berbagai penerapan metodologi ilmiah.

  • Kegagalan pengetahuan akan suatu fenomena kompleks bukan semata-mata karena informasi yang kurang banyak, melainkan suatu karakteristik inheren dari sistem kompleks itu sendiri.

Ini merupakan akibat dari dua proposisi sebelumnya, bahwa banyaknya hal yang tak kita ketahui akan sistem alam dan sosial, bukan semata-mata karena kita kurang informasi atas sistem alam dan sosial tersebut, melainkan disebabkan karakteristik sistem chaotik alam dan sosial yang “tidak mengizinkan” kita untuk secara deterministik memahami determinisme dari sistem tersebut.

  • Interaksi elemen-elemen sistem merupakan sumber utama kompleksitas sistem.

Yang menjadi biang keladi dari ketakpastian sistemik alam dan sosial adalah interaksi yang terjadi di antara elemen-elemen penyusunnya. Dengan memasukkan karakteristik interaksionisme inter-elemen sistem, begitu banyak perspektif modern sebagai warisan zeitgeist abad pencerahan mesti diubah. Kajian interdisiplinaritas dalam observasi dan penerapan metode ilmiah merupakan salah satu langkahnya.

  • Keadaan katastropik, krisis, terjadi oleh adanya aspek akumulasi secara endogen (self-organized criticallity)

Apa yang kita alami dan observasi sebagai keadaan katastropik, misalnya: krisis ekonomi dan sosial, konflik sosial, dan sebagainya, pada umumnya terjadi oleh karena akumulasi secara endogen dari sistem sosial tersebut. Keserakahan yang memupuk terus-menerus dalam sistem kapitalistik berbuah menjadi krisis ekonomi, konflik sosial yang pecah hingga pergantian rezim politik secara paksa terjadi oleh akumulasi kesulitan hidup yang dialami oleh individu-individu sosial. Ini merupakan karakteristik sistem alam dan sosial yang senantiasa bersifat self-referential yang memungkinkannya melakukan “pengaturan diri sendiri dalam keadaan kritikal”.

  • Cara sistem kompleks ber-adaptasi adalah melalui proses optimisasi apa yang terbaik dalam keterbatasan dalam horizon elemen-elemennya.

Di level individual dan elementer, usaha mikro-struktural untuk mencapai keadaan optimum merupakan cara sistem kompleks beradaptasi dan ber-evolusi. Pola dapat dikenali secara mikro, namun secara makro, akan dibrojolkan (emerge) pola makro yang seringkali (seolah) tak berhubungan dengan apa yang terjadi pada level deskripsi yang mikro.

  • Prediksi itu tak mungkin. Yang bisa dilakukan adalah mendeteksi awal (precursors) menuju sebuah keadaan.

Wawasan kompleksitas memberikan keinsyafan bahwa prediksi merupakan hal yang “terlarang” dalam sistem kompleks yang penuh ketakpastian. Namun dengan implementasi metodologis yang baik, prediksi dapat dilakukan dengan memperhatikan dan mendeteksi precursors (gejala-gejala awal) akan sebuah keadaan sistemik.

Diskusi dilakukan dengan memberi kesempatan seluasnya kepada para peserta diskusi yang berjumlah sekitar 70 orang untuk membenturkan butir-butir yang mendasari perspektif kompleksitas tersebut dengan pengalaman-pengalaman personal para peserta diskusi.  Adalah menarik, mendengarkan berbagai pendapat di sesi komentar dan tanya jawab, di antaranya dari Ulil Abshar Abdala yang menunjukkan bagaimana perspektif kompleksitas memberikan penjelasan atas berbagai keunikan fenomenologis yang dialami dalam aktivitasnya di bidang kajian agama.  Arif Mas Wijaya, periset cytogenetic biomolekuler di Tokyo, yang juga akan jadi pembicara pada diskusi seri neurosains, membagi pengalaman dan pengetahuannya yang menjabarkan sekian kompleksitas di ranah biologi molekuler dan evolusi. 

Moderator kemudian menutup diskusi pertama ini dengan menggaris bawahi kesadaran baru pengetahuan ilmiah yang kian tahu batas-batasnya, tapi yang justeru membuat pengetahuan itu tumbuh makin kokoh.

Diskusi kedua seri Kompleksitas akan dilaksanakan pada pertengahan Oktober 2011.

Makalah Hokky Situngkir

Kerangka diskusi Seri Kompleksitas

Enjoyed this article? Stay informed by joining our newsletter!

Comments

You must be logged in to post a comment.