Alain Badiou: Politik sebagai Kemungkinan Mencapai Kita

Oleh: Bagus Takwin

Politik adalah kemungkinan untuk membebaskan ‘yang kolektif’ dari rezim apapun di luar dirinya. Itu  yang saya tangkap sebagai inti pemikiran Badiou tentang politik. ‘Yang kolektif’ saya artikan sebagai kebersamaan dari orang-orang sebagai individu tunggal masing-masing yang menyatukan diri untuk tunduk hanya kepada kebersamaan itu. Politik menjadikannya mungkin. Apapun situasinya, bagi Badiou, selalu ada kemungkinan untuk membebaskan ‘yang kolektif’, selalu ada jalan bagi pencapaian kesetaraan untuk setiap ‘yang tunggal’ (singular)  dalam ‘yang kolektif’.

Politik yang dirujuk Badiou di sini bukan politik dalam pengertian politicking (le politique; the political) yang diusung oleh Carl Schmitt atau ekonomi politik yang berkutat dengan manajemen kehidupan sosial yang penuh dengan beragam kepentingan. Bukan juga politik dalam pengertian kajian tentang siapa yang mendapatkan kekuasaan dengan cara-cara tertentu atau tata-cara menjalankan negara. Politik pada Badiou sepadan dengan la politique (politics), politik sebagai pikiran tunggal, sebagai jenis khas dari pikiran (thought), sebagai kajian filsafat.

Filsafat hanya berurusan dengan pikiran dan oleh sebab itu politik sebagai kajian filsafat adalah pikiran. Kepedulian politik dalam arti ini tertuju kepada meta-struktur atau metapolitics yang membuat polictiking atau keputusan-keputusan ekonomi politik dan politik publik menjadi mungkin. Politik di sini harus dipahami dalam makna transendental, melampaui praktek politik sehari-hari, sebagai syarat yang memungkinkan praktek pengaturan orang-orang sebagai kebersamaan.

Antropolog Sylvain Lazarus jadi inspirator Badiou untuk memikirkan ulang politik dan mengembangkan metapolitics. Dari Lazarus, Badiou (2005) memahami politik sebagai nama, sebagai singularitas yang ada di luar kategori waktu. Politik dipahami Lazarus sebagai ‘pikiran nominal’, sebagai presentasi yang tak dapat direpresentasi. Politik selalu berurusan dengan pemikiran tentang bagian dalam dari pikiran, tentang pikiran sebagai dirinya sendiri; politik yang terlepas dari waktu. Ia mengambil tempatnya sendiri di sini dan kini, lepas dari alur sejarah, tampil sebagai keterputusan dengan masa lalu. Berbeda dari pikiran dalam pengetian tradisional sejak Hegel hingga filsafat politik kontemporer yang menempatkan sejarah sebagai syaratnya, Lazarus mengekslusi sejarah. Memakai Lazarus, Badiou memahami politik sebagai kejadian (l’événement; event) yang memutus hubungan dengan sejarah, sebagai singularity (ketunggalan) baru yang menampilkan dirinya sendiri.

Kejadian Politik

Keterputusan politik dari sejarah bermula pada kejadian. Badiou menunjuk kejadian sebagai peristiwa luar biasa, keterputusan dengan masa lalu, sebuah awal yang absolut. Dunia yang tadinya berisi pengulangan diinterupsi oleh kejadian. Kejadian adalah apa yang pertama kali memungkinkan kebaruan dicapai, yang memungkinkan kebenaran. Pengertian kejadian semacam ini banyak mendapatkan tentangan, terutama karena karakter luar biasanya. Persoalan juga muncul dalam memahami dari mana kejadian berasal, apakah bisa dibina atau difasilitasi munculnya, atau sesuatu yang begitu saja tiba entah dari mana.

Hal-ihwal kejadian memang tidak terlalu jelas. Ada kesan, munculnya kejadian memang misterius. Seperti sebuah puisi tak pernah sungguh terpahami, kejadian mengandung enigma, sesuatu tak bisa dilacak asal-usulnya. Tapi justru ketakterpahaman itu yang menggugah kita untuk terlibat di dalamnya, menerka-nerka, bahkan mempertahankannya. Meminjam Goenawan Mohamad, kejadian adalah “sesuatu yang kelak retak dan kita membuatnya abadi.”

Sejauh pembacaan saya, Badiou tak pernah tuntas menggambarkan kejadian. Ia hanya menyatakan peran kejadian. Menurutnya, agar kebenaran mengafirmasi kebenaran, harus ada sebuah tambahan lain, sebuah suplemen. Tambahan ini adalah kesetiaan kepada kemungkinan, kepada yang tak teramalkan, tak terkalkulasi, kepada apa yang mungkin melampaui itu semua. Itulah kejadian. Kebenaran muncul dalam kebaruannya sebab ada suplemen kejadian yang mengiterupsi pengulangan. Kejadian di sini tak jelas batasnya, apakah itu suplemen yang ditambahkan subjek, artinya ada setelah subjek, atau ada sebelum subjek sehingga subjek bisa setia kepadanya. Saya duga, kejadian dan subjek saling tumpah-tindih. Kejadian sebagai apa yang terjadi di dunia menghilang sebelum sempat sungguh-sungguh dipahami secara komprehensif. Ada banyak lubang dan retakan pada pemahaman orang tentang kejadian. Daya gugahnya menarik orang untuk mempertahankan dan berpegang padanya sekaligus menambali lubang-lubang dan retakan-retakannya. Gambar kejadian pun lengkap dalam pemahaman orang yang setia berpegang padanya. Dengan gambar itu orang akhir akhirnya orang menjadikan kejadian sebagai bagian yang bertahan di dunia.

Barangkali, kuantitas tunggal dari kejadian yang membuatnya tak bisa didefinisikan sehingga sulit mengenali batas-batasnya tanpa menunjuk langsung wujudnya dalam kenyataan. Badiou hanya memberikan contoh-contoh kepada kita dengan menunjuk kepada munculnya tragedi teatrikal dengan Aeschylus, berubahnya fisika matematik bersama Galileo, Revolusi Prancis, dan cinta antara dua orang yang malampui orientasi seksual yang hendak dipertahankan sampai mati. Kejadian semacam itu, tegas Badiou, ada dalam sejarah meski tak jelas bagaimana melacak jejak-jejak kemunculannya. Kejadian, meminjam matematika, adalah peristiwa aksiomatik, sebuah pilihan yang menunjuk kepada situasi khusus.

Lalu apa itu kejadian politik? Dalam Metapolitics  Badiou (2005: 141) menulis:

"An event is political if the material is collective, or if the event can only be attributed to a collective multiplicity. ‘Collective’ is not a numerical concept here. We say that the event is ontologically collective to extent that it provides the vehicle for virtual summoning of all. ‘Collective’ means immediately universalising. The effectiveness of the politics relates to the affirmation according to which ‘for every x, there is thought’."

Kejadian politik selalu bersifat kolektif; politik selalu melibatkan banyak orang. Orang-orang itu memiliki pikiran yang sama; pikiran dalam arti prosedur kebenaran yang dipahami sebagai subjektivitas. Dalam politik, pikiran itu ada pada semua orang dalam 'yang kolektif'. Kalau hanya ada pada satu atau dua orang saja, kita tidak bisa sebut itu pikiran politik. Pikiran politik niscaya dialamatkan kepada semua yang tercakup dalam 'yang kolektif', tidak hanya kepada sebagian. Kebenaran politik pun adalah kebenaran bagi 'yang kolektif', bukan untuk sebagian.

Pikiran dan kebenaran dalam politik berbeda dengan pikiran dalam seni, cinta atau sains. Hanya politik yang secara intrinksik mensyaratkan pikiran untuk dideklarasikan kepada semua yang tercakup dalam 'yang kolektif'. Pikiran politik itu ditujukan untuk semua orang, untuk meuniversalkan singularitasnya.

Kejadian politik tentu saja melibatkan banyak tindakan dari banyak orang, kecil maupun besar. Partisipasi dari orang-orang yang terlibat dalam 'yang kolektif' menjadi syarat dari politik. Jika tidak, itu hanya usaha segelintir atau sebagian orang, bukan keseluruhan. Di dalamnya, ada tindakan pidato, membuat konsep, memasak di dapur umum, memilih calon yang dianggap mampu, menyebarkan poster, dan sebagainya. Itu juga terjadi dalam kejadian-kejadian politik yang tercatat dalam sejarah, tetapi itu semua tak lain demi mewujudnya pikiran. Kita bisa baca, dalam contoh-contoh yang dirujuk Badiou beragam kegiatan dilakukan dalam usaha mewujudkan pikiran kesetaraan, untuk mencapai kebebasan 'yang kolektif' dari rezim-rezim di luar dirinya.

Dasar Ontologis Bagi Politik

Ontologi Badiou memberikan dasar bagi perumusan politik sebagai kemungkinan sekaligus menjelakan mengapa kejadian adalah awal yang absolut. Berangkat dari perumusan ‘Ada’ (being) sebagai situasi, kumpulan kemajemukan yang majemuk (multiple multiplicity), Badiou (2005) membangun pemikirannya tentang kemungkinan-kemungkinan menata kemajemukan dengan cara baru dan menghasilkan kemajemukan yang baru.

Kebaruan, sejauh pemahaman saya terhadap Badiou, merupakan kata kunci dari berbagai usaha manusia sebagai subjek untuk mencapai kebenaran. Kebaruan di sini, dengan kerangka ontologi Badiou, dipahami sebagai kebaruan situasi, kebaruan kemajemukan yang majemuk. Dengan merumuskan ‘Ada’ sebagai situasi, Badiou tidak menunjuk kepada kebaruan material, melainkan kebaruan situasi. ‘Ada’ bukan yang tunggal, juga bukan yang majemuk. ‘Ada’ adalah sekaligus yang satu dan majemuk.

Setiap ‘Ada’ mengandung yang tunggal dan yang majemuk sekaligus, dan situasi jadi istilah yang tepat untuk mewakilinya. Situasi merupakan representasi dari presentasi, perwakilan berbagai presentasi dari beragam yang tunggal hasil operasi ‘hitungan-sebagai-satu’ (count-as-one). Operasi ini merupakan metastruktur, struktur dari struktur. Setiap situasi mempresentasi unsur-unsurnya sebagai struktur masing-masing. Lalu, unsur-unsur itu dihitung-sebagai-satu, distrukturisasi menjadi struktur lebih besar yang merepresentasi situasi.

Situasi yang baru atau ‘Ada’ yang baru adalah situasi yang dihitung-sebagai-satu secara baru sehingga memiliki struktur baru. Kebaruan terletak pada operasi ini, struktur baru dari situasi hasil dari hitungan-sebagai-satu yang baru. Jadi, ‘Ada’ yang baru adalah situasi yang baru, kemajemukan yang baru.

Kejadian dalam pemahaman Badiou adalah suplemen bagi terjadinya kebaruan, bagi kemajemukan yang baru. Kejadian merupakan awal absolut dari situasi yang baru. Dengan adanya kejadian, situasi lama yang merupakan metastruktur diurai sedemikiran rupa lalu distrukturisasi lagi untuk menghasilkan struktur situasi yang baru, dengan kata lain menghasilkan situasi yang baru, ‘Ada’ yang baru. 

Orang-orang yang memiliki keyakinan (fidelity) terhadap kejadian sebagai penghasil struktur baru itu dalam terminilogi Badiou disebut subjek. Dengan keyakinannya mereka mempertahankan kejadian sehingga kebaruan terwujud. Proses mempertahankan kejadiaan sehingga mewujudkan situasi baru disebut Badiou sebagai proses kebenaran.

Politik oleh Badiou dipahami dengan dasar ontologinya ini. Kejadian politik muncul sebagai awal absolut dari situasi kolektif baru. Kasarnya, situasi tempat ‘yang kolektif’ terhimpun di bawah metastruktur lama diurai sedemikian rupa untuk menghasilkan situasi baru yang bercirikan ‘yang kolektif’ mengelola dirinya sendiri, bebas dari rezim di luar dirinya.

Politik, Keadilan dan Pikiran

Badiou menyebut keadilan sebagai fokus utama dari politik. Keadilan merupakan ciri utama pengelolaan ‘yang kolektif’ secara egaliter. ‘Politik yang adil’ jadi ihwal utama dalam ranah pemikiran politik sejak Plato hingga kini. Persoalannya, keadilan bukan sesuatu yang terungkap dengan jelas. Keadilan selalu merujuk pada keadaan tunggal, tak bisa diperbandingkan dan tak bisa didefinisikan. Keadilan dapat ditunjukan sebagai presentasi tetapi tak dapat digeneralisasi. Tak ada representasi yang dapat mewakilinya. Memikirkan politik dengan berangkat dari rumusan pengertian keadilan tertentu akan menghasilkan pemikiran yang mereduksi keadilan sebatas pengertian itu, bukan keadilan yang memaparkan dirinya sendiri. 

 

*unduh makalah Bagus Takwin diacara Diskusi Umum "Pemikiran Politik Alain Badiou'

Jakarta, 27 Maret 2008

Enjoyed this article? Stay informed by joining our newsletter!

Comments

You must be logged in to post a comment.