Friedman

Gambar: bloomberg.com

BARU-BARU INI kolomnis ternama Harian The New York Times, Thomas L. Friedman menulis seri artikel tentang Indonesia (10, 14, 17, 21, dan 25 Juli lalu). Selama lima tahun bermukim di Amerika Serikat, baru kali ini saya membaca berturut-turut artikel tentang Indonesia di media populer yang isinya cukup mendalam dan jernih itu.

Apa yang dikatakan Friedman dalam seri tulisan itu? Pada dasarnya, Friedman menjelaskan bahwa pandangan sebagian politisi Amerika Serikat di Konggres, yang ingin menjadikan Indonesia sebagai negeri paria sejajar dengan Myanmar atau Irak adalah pandangan yang ‘keliru’ dan ‘bodoh’.

Indonesia, menurut Friedman, adalah sebuah negeri besar dan kompleks yang selama ini telah memainkan peranan politik luar negerinya dengan konstruktif. Ia mengutip Menteri Luar Negeri Ali Alatas, bintang seri artikel ini, untuk menjelaskan: jika Amerika Serikat salah langkah dengan terus-menerus mendesak Indonesia karena satu persoalan saja, misalnya kasus Timor Timur, akibatnya bisa sangat buruk, sebab bukan tak mungkin akan terjadi semacam nationalist backlash. Hal ini, kalau terjadi, akan merugikan bukan saja kepentingan pembangunan Indonesia, melainkan juga menghambat pelaksanaan strategi diplomasi Amerika Serikat di Asia.

Di Asia, gejala politik yang paling besar dampak globalnya adalah bangkitnya Cina secara ekonomi dan militer. Untuk mengimbangi potensi dominasi Cina dalam tahun-tahun mendatang, Amerika Serikat tak mungkin hanya bersandar pada Jepang. Negeri Matahari Terbit ini mungkin akan menjadi persoalan tersendiri bagi strategi diplomasi Amerika Serikat. Karena itu, buat Friedman, posisi Indonesia menjadi sangat penting untuk mengimbangi bangkitnya kekuatan Cina.

Selain itu, Indonesia sudah memainkan peranan big brother dengan sangat positif di kawasan Asia Tenggara sejak akhir 1960-an. Karena peranan semacam inilah stabilitas politik ASEAN dapat terjamin, dan pertumbuhan ekonomi yang sangat pesat dapat berlangsung di kawasan ini.

Jadi, singkatnya, kesimpulan Friedman dapat dengan mudah kita tebak: ia menganjurkan Amerika Serikat dapat lebih luas serta realistis dalam memandang hubungannya dengan Indonesia. “Indonesia,” demikian Friedman mengutip Ali Alatas, “adalah sahabat Amerika, bukan musuh.”

Selain topik politik luar negeri, kondisi domestik Indonesia tak luput dari perhatian Friedman. Ia memuji keberhasilan ekonomi Indonesia sebagai salah satu negeri yang muncul sebagai pusat pertumbuhan ekonomi dunia. Namun tak lupa ia menyinggung persoalan dasar yang ada, seperti masalah lingkungan hidup dan tingkat korupsi yang sudah sangat kronis.

Buat Indonesia, makna apa yang bisa ditarik dari hadirnya tulisan seperti yang disajikan Friedman? Walaupun di sana-sini menyentil dengan tajam (seperti dalam soal korupsi), secara keseluruhan tulisan Friedman bermakna positif bagi kita. Indonesia yang ditampilkannya bukanlah negeri yang hanya dapat dipandang dari satu segi. Ia menghadirkan Indonesia dalam kompleksitasnya, betapapun tempat yang digunakannya—dalam bentuk kolom—sangat terbatas.

Bobot seri artikel ini tak dapat dianggap ringan karena adanya dua hal. Pertama, artikel itu dimuat di harian paling besar dan berpengaruh di panggung opini Amerika Serikat. Koran ini menjadi santapan pagi kaum politisi di Washington, D.C, dan elite bisnis di New York. Ia adalah sebuah institusi yang menjadi salah satu jendela bagi publik Amerika Serikat untuk mengenal dunia luar.

Kedua, penulisnya adalah seorang kolumnis pemenang Hadiah Pulitzer, yang selama ini dikenal sebagai penulis masalah politik luar negeri yang berimbang, tajam, dan cerdas. William Safire­ adalah ­seorang ­kolomnis ­partisan ­par excellence, sedangkan Friedman adalah tipe penulis yang selalu menegedepankan akal sehat dan mencoba menimbang-nimbang berbagai sudut pandang secara obyektif.

Karena itu, dalam konteks hubungan Indonesia-Amerika Serikat yang belakangan ini cenderung agak menghangat, seri artikel ini mungkin bisa dianggap sebagai angin segar. Di samping itu, tulisan tersebut dapat dilihat sebagai pengimbang berita-berita miring di seputar kasus Lippogate yang selama ini sudah cenderung “overdosis” di Washington, D.C.

Selain semua itu, pelajaran yang perlu kita renungkan: publik dan media massa Amerika Serikat sangat terbuka pada argumen-argumen dingin dan masuk akal. Seringkali realitas politik Indonesia mendapat kecaman pedas dari berbagai jurusan, misalnya dari para aktivis lingkungan, pejuang hak asasi, dan pembela kaum buruh. Terhadap kecaman semacam ini, biasanya reaksi kita sangat emosional dan berbau “jingoisme” (right or wrong it's my country). Reaksi semacam ini, dalam percaturan opini publik di Amerika Serikat atau Eropa justru sangat tak efektif dan merugikan diri.

Hal yang perlu kita lakukan terhadap berbagai kritik atas realitas negeri kita adalah memberi tanggapan dengan argumen rasional, tanpa emosi yang berlebihan. Friedman, melalui seri artikelnya, telah memberi contoh yang baik. Melalui tanggapan semacam ini, kita menyentuh hal yang paling berharga dan paling penting dalam masyarakat Amerika Serikat, yaitu akal sehat mereka.

2 Agustus 1997 

 

Kolom, GATRA, 2 Agustus 1997

Enjoyed this article? Stay informed by joining our newsletter!

Comments

You must be logged in to post a comment.

Related Articles