Liberal not so bad after all ...

Ya "LIBERAL", begitulah susunan huruf ini dibaca, kata yang asing untuk Indonesia. Kata ini juga yang mengantar saya untuk menginjak tanah Jakarta yang pertama kalinya.

Sebelum berangkat ke Jakarta, saya memaknai liberal dalam kerangka sistem, bahwa kebebasan sama dengan "liar", individualistik dan yang kaya semakin kaya. Hal ini karena sebelum keberangkatan saya ke Jakarta, isu domestik yang sedang hot news adalah gagalnya UU Badan Hukum Pendidikan oleh Mahkamah Konstitusi.

Forum diskusi di kampus saya, tepatnya Universitas Jember, dibanjiri oleh tema-tema anti BHP, yang intinya adalah kritik atas upaya "liberalisasi"pendidikan yang pada akhirnya merugikan orang miskin.

Dari statement-statement yang mencitrakan liberalisme dengan konotasi negatif atau sering disebut amerikanisasi, pertanyaan besar pun muncul: "Apa betul liberal buruk?"Pertanyaan inilah yang kemudian membawa saya pada pengembaraan mencari "makna liberal"sampai ke kotanya Si Doel. Di kota inilah Freedom Institute, Friedrich Naumann Stiftung, dan jaringan sejenis lainnya getol memperjuangkan nilai-nilai liberty and freedom.

Bak gayung bersambut, hajatan Akademi Merdeka diadakan kembali yaitu Akademi Merdeka 2 "Mengenal Ide-ide Politik dan Ekonomi Modern"yang diadakan di Cico Resort Bogor 2, mulai 27 hingga 30 Mei 2010.

Kamis, 27 Mei: Tepat pukul 09.00 WIB kereta yang membawa saya memberhentikan saya tepat di Stasiun Senen dan saya bergegas saya bertolak ke Jalan Proklamasi 41. Sesampai di Freedom Institute kami peserta AMI 2 berangkat menuju jalan demokrasi, jalan toleransi, jalan property right, dan jalan kemakmuran yang bermuara pada tikungan "Liberalisme".

Keesokan harinya, saya mendapat "pencerahan"atas pertanyaan besar di atas, yaitu mengenai privatisasi pendidikan. Sempat dibahas bahwa dengan anggaran 20% pendidikan pemerintah ternyata tidak mampu untuk menghadirkan pendidikan yang menjangkau masyarakat "miskin" karena anggaran 20% banyak dialokasikan pada kesejahteraan guru, dll.

Perspektif teman sebelah "Kiri"mengharuskan Negara yang menanggung pendidikan. Berarti apabila 20% tidak cukup jalan satu-satunya adalah menaikkan anggaran menjadi 30% atau 40%. Tapi apakah mungkin APBN hanya digunakan untuk "ngurusi"pedidikan? Rasanya nggak mungkin.

Maka dari itu pada Jumat yang manis itu "Liberal"datang bak resep mujarab dengan "privatisasi pendidikannya". Argumenya: dengan privatisasi pendidikan akan berkompetisi dalam pasar sehingga mau tak mau harus, bisa tidak bisa, meningkatkan mutu pendidikan adalah keharusan, karena kalau sampai nggak mutu maka jualannya tidak akan dibeli dan maka ia akan tutup toko. Terus bagaimana dengan daerah yang pedalaman yang hanya ada pendidikan yang penting lulus atau di bawah standar? Hal ini akan mengakibatkan banyak sekolah yang tutup? Liberal menjawab: silahkan di merger saja, seperti apa yang diungkapkan oleh mas Rezki Anindhito, salah satu pemateri dalam AMI yang kebetulan datang dari kalangan ekonom profesional. Terus bagaimana dengan daerah yang ditinggal karena merger? Lho itu kan yang akan dibidik oleh pasar. Nah dari sinilah pertanyaan itu terjawab. Begitu juga dengan BHP. Pada dasarnya kompetisi akan menguntungkan konsumen!

Tidak hanya pencerahan itu saja: yang lain, kebebasan itu dibatasi oleh kebebasan orang lain seperti anda masuk toko anda bebas untuk memilih tapi kebebasan itu dibatasi dengan anda membayar bukan masuk toko, ngambil barang lalu pulang tanpa bayar itulah yang namanya liar seperti yang diungkapkan oleh Ulil Abshar Abdalla. Dan yang terpenting dalam hal ini adalah sistem ini mengakomodasi si miskin untuk jadi kaya dan si kaya menjadi miskin. Karena pasar tidak mengenal si itu, si anu dan si ini.

Bogor, 27-30 Mei 2010, sungguh adalah serentetan waktu yang memberi pencerahan bagi saya. Liberal is not so bad after all.

Rafli Zulfikar
*) Mahasiswa Universitas Jember, peserta Akademi Merdeka Indonesia 2" 10/06/10

Enjoyed this article? Stay informed by joining our newsletter!

Comments

You must be logged in to post a comment.