Ziarah Ke Pulau Bahu

PELABUHAN, FREE MARKET DAN DISTRIBUSI KESEJAHTERAAN


Pada awalnya saya menyangka hanya iseng, ketika seorang kawan YFN,  Jaylani, mengajak untuk memancing di tengah laut sambil bakar ikan di  sebuah pulau terpencil. Ah gak ah... Saya gak ikut, mending tidur aja  sambil nonton TV, Jawabku. Tapi bayangan asyiknya mancing mania dan keelokan sebuah pulau akhirnya membuyarkan rencanaku untuk istirahat.  Setelah persiapan seadanya, berangkatlah kami ke Pelabuhan Nusantara,  pelabuhan utama di Kota Kendari, tempat memulai ekspedisi ke pulau Bahu.  Setiba di pelabuhan, sebuah perahu 'wisata' telah menunggu dan siap  mengantar kami ke Pulau Bahu.

Pelabuhan dimana-mana selalu sama. Dia acuh tak acuh dengan segala sangkaan orang. Pelabuhan selalu narzis dengan kapasitas yang dimilikinya, angkuh dengan kemampuannya  mendistribusikan kemakmuran kepada semua orang. Pelabuhan selalu bangga  menjadi bagian penting dalam sejarah panjang pasar bebas. Dia tidak  peduli terhadap latar belakang suku, agama, warna kulit dan keyakinan  yang dimiliki penggunanya. Dia terus menjalankan fungsinya sebagai  pemintal kekayaan dan penggerak roda perekonomian suatu bangsa.  Pelabuhan Nusantara di Kendari sama dengan pelabuhan-pelabuhan lainnya  di Nusantara. Dia menjadi mata rantai kemajuan peradaban umat manusia.  Sama fungsi dengan Pelabuhan Sunda Kelapa yang sejak tahun 1527 telah  menjadi back bone ekonomi kerajaan Pajajaran, atau  pelabuhan-pelabuhan di semenanjung Malaya Tenggara, mendistribusikan  ribuan komoditas para pedagang yang berasal dari Eropa, Timur Tengah,  Asia selatan dan Asia Timur.

Dari pelabuhan Kendari, perahu membawa kami menuju pulau Bahu. Pada  awalnya perahu bergerak dengan landai dan tenang. Tidak ada kekhawatiran  sama sekali. Tidak ada ombak dan gelombang datang menerpa. Suasana  begitu tenang seperti saat sesi perkenalan dalam pembukaaan workshop climate change dan free market sehari  sebelumnya; tanpa gejolak, tanpa sikap mempertanyakan. Tiba tiba saat  perahu telah melewati Teluk, ombak datang menerjang dan menerpa perahu  nelayan yang kami tumpangi. Hantaman ombak yang datang silih berganti  bersaut sama kuatnya dengan penolakan atas gagasan free market pada awal  penyampaian  materi kami kepada peserta.  Gagasan-gagasan dan  argumentasi silih berganti bersaut dan sambung menyambung dalam dinamika  forum yang  keras dan argumentatif. Peserta workshop yang telah  memiliki ‚Äòsuatu pandangan‚Äô tersedak bangun menghadapi nilai-nilai baru free market yang menderu dalam ruang ilmiah. Semua kayakinan lama diaduk dan  ditabrak dalam ruang rasional yang benderang. Pertumbuhan Ekonomi,  kemakmuran, dan kesejahteraan telah membukakan mata para penumpang  perahu akan keniscayaan sebuah  free market.   Bagi kami deburan ombak,  olengnya perahu nelayan dan perasaan waswas dalam ‚Äòmembuka pikiran baru‚Äô  (open mind) adalah perjalanan  panjang menuju kebahagiaan dan kesejahteraan.

Akhirnya perjalanan yang menegangkan selama kurang lebih 2 jam telah  berakhir. Perahu nelayan yang kami tumpangi mendekat ke arah  cahaya  lampu nelayan di kampung pulau Bahu.

Deretan panjang pasir  putih, lambaian pohon kelapa, serta birunya air laut dibawah cahaya  purnama menyambut kami dengan suka cita  laksana seorang Ludwig Von  Mises menemukan kembali liberalisme. Ketegangan menghadapi ombak yang  membawa kapal nelayan terombang ambing selama perjalanan yang membuat  penumpang berteriak, seolah-olah sama dengan kepuasan mendedehkan  argumentasi nilai-nilai kebebasan, rule of the law,  toleransi dan free market, melawan nilai-nilai lama komunisme dan totalitarianisme, Law and order, serta kebijakan proteksionisme.

Karena tak kuat menahan rasa dingin yang mulai mencengkeram, kami  akhirnya menyalahkan api unggun sambil membakar ikan.  Melalui    pembagian kerja, kami menjalankan peran dan fungsi masing-masing lebih  efektif. Ada yang mulai mengumpulkan kayu bakar, menyiapkan panggangan  ikan, mengambil cabe dan bumbu-bumbu ikan, sementara beberapa orang  lainnya memasak nasi. Setengah jam kemudian kami menyantap ikan bakar  hasil kerja keras yang telah kami lakukan. Hhhmmmmm.... nyam... nyam....  dengan penuh kenikmatan kami menyantap menu makan malam kami. Tapi  sebenarnya bukan hanya ikan bakar yang kami nikmati.  Yang lebih membuat  kami merasa nikmat adalah semakin kuatnya pandangan kami, bahwa  pembagian kerja merupakan sistem yang dapat membawa kami mewujudkan  kesejahteraan.  Pembagian kerja telah membawa penemuan-penemuan  (inovasi) dalam sejarah perkembangan umat manusia. Melalui pembagian  kerja pula setiap individu dapat meraih kebebasan dan mewujudkan  impian-impiannya.

Malam telah larut... bulan purnama telah lewat. Setelah bercengkerama  dan berbagi cerita kami beranjak ke tempat tidur di rumah warga yang  kami sewa. Satu persatu lampu di rumah warga pulau Bahu padam seiring  dengan terlelapnya penghuni rumah. Kami yakin sekalipun mereka tinggal  disebuah pulau terpencil yang berjarak ratusan kilo meter dari pusat  kota dan tidak bercocok tanam, esok pagi mereka pasti dapat menikmati  sarapan pagi dengan nasi,  memasak masakan istimewa dan dapat membeli  kebutuhan keluarga karena  adanya keajaiban perdagangan.   Perdagangan  telah mampu membuat

hidup 70 kepala keluarga penghuni pulau Bahu menikmati keuntungan.  Tanpa adanya proteksi, semua nelayan di pulau buru dapat bebas menjual  ikan hasil tangkapannya kepada tengkulak yang telah menunggu hasil  tangkapan mereka di pelabuhan ikan. Disaat bersamaan setiap nelayan  dapat menjaga ekosistem dan terumbu karang yang berada di sekitar pulau  sebagi property righ. Property Righ harus dijaga bukan hanya disebabkan  itu merupakan hak dasar yang mereka miliki, namun dengan kepemilikikan  atas hak-hak dasar tersebut mereka dapat mengakumulasi keuntungan, dan  juga menikmati tangkapan ikan yang banyak. Mereka mungkin belum tahu  tentang climate change, free market, REDD+, tapi mereka merupakan bagian  dari ribuan bahkan jutaan orang dari berbagai Community Organizer (CO)  yang bahu membahu melakukan kajian, seminar dan workshop untuk menjaga  kelestarian alam dengan tetap menikmati perdagangan bebas yang telah  mensejahterakan umat manusia.

Jam telah menunjukkan angka 08.00 WITA, saat perahu nelayan membawa kami  kembali pulang ke hotel Atthaya tempat kami menggelar liberal workshop  on climate change for student.  Kami menikmati perjalanan pulang dengan  rasa bahagia. Melihat lalu lalang kapal nelayan yang mengangkut aneka  ragam barang dari pelabuhan ke pulau-pulau terpencil.  Sementara di  pelabuhan, suasananya masih tetap sama. Hiruk pikuk para pekerja yang  mengangkut berton ton barang dan komuditas. Kapal-kapal besar menurunkan  jangkarnya untuk  bersandar di dermaga mengantri saat tiba waktu  menurunkan muatannya. Sementara perahu-perahu kecil mengangkut penumpang  dengan barang-barang bawaannya dengan penuh keceriaan. Hiruk pikuk  suasana pelabuhan yang ramai tidak memperdulikan kahadiran kami,  Walaupun begitu kami merasa puas, sebab kami menyaksikan bahwa  pasar  bebas yang selama ini telah berlangsung pasti membawa kepada  kesejahteraan.

Penulis Alumni Akmer 3 CO Fasilitator pada replika akmer kendari

Enjoyed this article? Stay informed by joining our newsletter!

Comments

You must be logged in to post a comment.