DALAM ILMU SOSIAL, perubahan sosial adalah sebuah tema klasik yang selalu menarik untuk dibahas. Bahkan bisa dikatakan justru tema inilah yang mendorong lahirnya sebuah studi baru pada abad ke‐19 yang disebut sosiologi. Para pelopor cabang ilmu ini, seperti Ferdinand Tönnies, Emile Durkheim, dan Max Weber, dengan cara masing‐masing mencoba merumuskan teori‐teori sosial berdasarkan gejala perubahan dalam masyarakat yang mereka amati. Konsep‐konsep yang mereka lahirkan, seperti anomie, gemeinschaft, dan gesellschaft, menjadi acuan untuk menggambarkan proses serta akibat dari perubahan besar yang sedang terjadi di Eropa saat itu, yaitu perubahan dari masyarakat pertanian ke masyarakat industri yang didorong oleh perluasan sistem kapitalisme serta oleh serangkaian penemuan teknologi baru, seperti mesin uap, kereta api, dan telegram.
Dalam buku Guncangan Besar, Francis Fukuyama mencoba meneruskan tradisi keilmuan semacam itu dengan melihat apa yang terjadi pada paruh kedua abad ke‐20 hingga saat ini. Futuris seperti Alvin Toffler telah menggambarkan bahwa setelah era industri, masyarakat modern memasuki era informasi. Beberapa pemikir lain mengatakan bahwa masyarakat semacam ini adalah masyarakat yang pasca-modern, pasca-industri, dan pasca-kapitalis. Fukuyama tidak menciptakan istilah tersendiri mengenai karakteristik masyarakat yang dibahasnya. la pada dasarnya setuju bahwa setelah tahap pertanian dan industri, masyarakat modern memang terus mengalami proses perubahan besar yang memengaruhi setiap dimensi kehidupan manusia, di mana pun mereka berada.
Fokus bahasan Fukuyama di Guncangan Besar bukanlah pada perubahan itu sendiri, tetapi lebih pada akibatnya terhadap tatanan masyarakat, yaitu pada himpunan individu‐individu yang berhubungan satu dengan yang lain, menurut aturan‐aturan yang diterima bersama, baik secara formal (hukum) maupun secara informal (etika, moralitas). Bagi dia, perubahan karakteristik masyarakat di Amerika Serikat mengakibatkan terjadinya Guncangan Besar, the great disruption, yang terjadi sekitar 1960‐an dan 1970‐an, yang dicirikan oleh meningkatnya secara drastis sejumlah indikator patologi sosial, seperti tingkat kriminalitas, perceraian, dan kehancuran kehidupan rumah tangga. Dengan cara ini, Fukuyama ingin berkata bahwa pada akhirnya, perubahan besar yang terjadi dalam dunia perdagangan, ilmu, dan teknologi akan membawa dampak yang nyata dan tidak selalu positif terhadap kehidupan yang bersifat “mikro”, misalnya hubungan suami‐istri, peranan wanita dalam rumahtangga, dan perilaku sosial kaum remaja.
Konsep dasar yang ditawarkan oleh Fukuyama dalam Guncangan Besar adalah modal sosial. Konsep ini diperkenalkan pertama kali oleh L.I. Hanifan pada awal abad ke‐20, dan telah cukup sering digunakan oleh kaum sosiolog dalam berbagai kesempatan. Robert Putnam, misalnya, menggunakan konsep ini untuk menggambarkan dilema demokrasi di Italia dan menurunnya kualitas demokrasi di Amerika Serikat. Namun, “penemu” sesungguhnya dari konsep ini adalah seorang pernikir Prancis seabad sebelumnya, Alexis de Tocqueville, yang telah menulis buku klasik, Democracy in America (1840), berdasarkan konsep tentang asosiasi dan interaksi sosial dalam masyarakat.
Oleh Fukuyama konsep ini dikembangkan lebih jauh dengan memasukkan pemikiran‐pemikiran baru yang berkembang dalam ilmu-ilmu sosial mutakhir, seperti teori‐teori tentang pilihan rasional dan aksi‐aksi kooperatif. Dengan cara ini, pembahasan Fukuyama, walaupun berfokus pada sebuah tema klasik, tidak terasa basi dan membosankan. Malah sebaliknya, tema lama ini menjadi hidup dan menarik perhatian, justru karena kita ingin mengerti bagaimana para pemikir yang ada sekarang melihat sebuah proses yang telah dikupas dan diteliti sejak lahimya disiplin sosiologi.
Salah satu pendapat Fukuyama yang menarik dibahas lebih lanjut berhubungan dengan kemampuan manusia dalam menghadapi guncangan dan perubahan. Guncangan Besar mengakibatkan erosi pada modal sosial. Kepercayaan manusia pada manusia lainnya menipis, kecurigaan dan ketidakjujuran merebak, serta pelanggaran hukum meningkat. Proses kerjasama dalam masyarakat berubah menjadi proses saling memakan dan saling merugikan. Namun, bagi Fukuyama, setelah proses semacam ini akan terjadi proses penataan kembali, dari disordering menjadi reordering of the society.
Guncangan akan disusul dengan penataan kembali tatanan sosial. Dan hal ini terjadi tidak dalam proses yang dikendalikan oleh otoritas tertentu, seperti pemerintah, korporasi, atau gereja. Daya untuk membangun kembali masyarakat justru terjadi secara alamiah, tidak terpusat, dan dilakukan oleh individu‐individu secara spontan. Dalam hal ini Fukuyama mengikuti jejak Friedrich Hayek, filsuf‐ekonom Austria yang banyak disebut sebagai pemikir liberal terdepan pada abad ke‐20, yang melahirkan konsep spontaneous order untuk menggambarkan bagaimana manusia, tanpa diatur siapapun, menciptakan dalam masyarakat sistem kerjasama yang menguntungkan semua pihak.
Pada dasamya, pemikiran semacam ini menaruh harapan dan optimisme besar pada manusia. Manusia dianggap sebagai makhluk yang secara alamiah selalu ingin bekerjasama. Tanpa diminta dan diatur oleh penguasa, pemilik modal, atau pemuka agama sekalipun, manusia akan menciptakan aturan, baik formal maupun informal, di antara mereka sendiri untuk membangun kembali tatanan yang ada.
Pada titik ini kita mungkin tertarik untuk bertanya lebih jauh, apa yang mendorong manusia untuk melakukan hal itu? Apa yang ada di balik dorongan alamiah untuk bekerjasama: kepentingan pribadi untuk mencari keuntungan dan kehormatan, semangat altruisme, ataukah justru kecemasan dan ketakutan? Dalam Guncangan Besar, Fukuyama tidak memilih salah satunya—dan hal ini mungkin memang tidak perlu dilakukan. Yang jelas, apapun motivasinya, manusia senantiasa membangun kembali modal sosial setelah terkikis oleh proses perubahan besar, dan dalam banyak hal proses ini dapat menciptakan sebuah masyarakat baru yang lebih baik ketimbang masyarakat sebelumnya.
Yang juga menarik adalah, pada bagian akhir Guncangan Besar, Fukuyama membahas proses perubahan, modal sosial, dan hubungannya dengan sistem kapitalisme. Dalam ilmu sosial, pandangan tentang hubungan antara kapitalisme, moralitas, dan kebudayaan secara umum terbagi dalam dua aliran besar. Aliran pertama mengatakan bahwa kapitalisme mengikis moralitas dan merusak tatanan budaya (semakin besar modal ekonomi, semakin kecil modal sosial), sementara aliran yang kedua mengatakan sebaliknya, kapitalisme justru memperkuat moralitas dan memperkaya kebudayaan. Pembagian semacam ini melampaui ideologi kiri atau kanan. Joseph Schumpeter bukan ekonom kiri, tetapi dalam bukunya yang terkenal, Capitalism, Socialism, and Democracy (1942), ia berpandangan bahwa kapitalisme mengandung benih yang membahayakan dirinya sendiri sebab semakin ia berkembang, semakin kecil basis legitimasi moral yang ada pada dirinya. Pandangan semacam ini juga dianut oleh kaum kontradiksionis, seperti Daniel Bell, yang tidak termasuk dalam kubu kaum sosialis, lama maupun baru.
Fukuyama menolak simplifikasi satu dimensi dari hubungan modal sosial dan kapitalisme semacam itu. Memang terkesan bahwa ia lebih tertarik ke pendapat kaum pemikir di tradisi kanan. Dalam hal ini, misaInya, Montesquieu berpendapat bahwa kegiatan komersial justru mengajarkan orang pada nilai‐nilai tentang kejujuran, kesetiaan pada kontrak, dan penghargaan pada kerja. Namun pada intinya Fukuyama memilih posisi tengah, dengan berkata bahwa kapitalisme dapat secara simultan mengikis dan memperkuat modal sosial. Masalahnya tidak terletak pada hakikat kapitalisme itu sendiri sebagai sebuah sistem pertukaran, tetapi lebih pada dinamika yang berhubungan dengan perubahan dan perkembangan teknologi. Dan dalam hal inilah kita harus melihat dengan lebih jeli, pada kasus seperti apa interaksi antara perubahan teknologi dan kapitalisme mengakibatkan suatu guncangan, dan pada kasus bagaimana ia mendorong terjadinya pembentukan kembali.
Singkatnya, Fukuyama mengajak kita untuk tidak terperangkap pada dogma. Seperti yang ada dalam setiap bukunya, Guncangan Besar mengajak kita untuk melihat berbagai hal penting yang terjadi dalam masyarakat dengan kepala dingin, obyektif, dan sistematis. Dan dengan begini, kecemasan maupun harapan yang berlebihan yang biasanya muncul dalam setiap proses transisi masyarakat dapat dihindari.
Jakarta, 31 Maret 2005
You must be logged in to post a comment.