Konsensus Elite dan Politik Kekuatan (Tanggapan buat Denny JA)

Foto oleh fauxels dari Pexels

SETELAH PEMILU dua tahun silam, sebenarnya sudah bisa terbaca persoalan politik kita yang fundamental. Persoalan ini bersumber pada komposisi dukungan yang diperoleh partai-partai besar, di mana tidak satu pun di antara mereka yang memiliki suara mayoritas mutlak, sebuah kondisi yang diperlukan untuk melahirkan force majeure dalam berhadapan dengan pilihan-pilihan tindakan publik. PDI-P memang muncul sebagai pemenang pemilu, namun dukungan riil yang dimilikinya tidak memadai untuk membentuk pemerintahan baru.

Kita harus berhadapan dengan konsekuensi dari kenyataan politik semacam itu. Sejauh ini apa yang tampak di mata adalah potret yang buram. Sulit mencari prestasi pemerintah yang saat ini bisa dibanggakan. Lembaga eksekutif sepertinya tidak memiliki otoritas apapun untuk melakukan langkah-langkah penting dan mengandung risiko, sementara hubungan-hubungan politik di lembaga perwakilan terus-menerus bersifat cair dan penuh kontroversi.

Sesungguhnya Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) berpeluang untuk mengurangi dampak negatif dari keterpecahan politik yang kita hadapi. Dengan kekuasaan formal dan simbolik yang cukup besar sebagai presiden, ia bisa membujuk dan membentuk koalisi yang mampu menjadi poros politik untuk mendukung pemerintahannya. Tapi, ternyata Gus Dur tidak memiliki kemampuan untuk itu. Bukannya memberi solusi, ia malah menjadi bagian dari persoalan itu sendiri, dan dilema transisi demokrasi yang kita alami menjadi semakin kompleks.

Adakah jalan ke luar dari semua itu? Salah satu jawaban populer yang sering kita baca di berbagai media bertolak dari teori konsensus elite. Menurut para pendukung teori ini, karakter transisi politik kita mirip dengan apa yang terjadi di berbagai negeri lain yang mengalami proses reforma pactada, sebuah istilah akademis untuk menggambarkan proses reformasi yang dinegosiasikan di antara kaum elite. Demokratisasi bisa berjalan maju di berbagai negeri ini karena kaum elite membuat pakta di antara mereka dan sepakat membagi kekuasaan serta memerintah secara bersama.

Kita harus meniru proses seperti itu. Secara teknis, menurut pendukung teori ini, proses negosiasi politik cukup mudah dilakukan karena di negeri kita kaum elite yang benar-benar menentukan sebenarnya hanya segelintir orang. Merekalah yang harus bertemu secara rutin untuk menuntaskan berbagai isu besar yang ada. Inilah jalan terbaik, sebuah solusi pragmatis yang mampu membawa kita ke luar dari kebuntuan politik saat ini.

Buat saya, solusi lewat konsensus elite kedengarannya memang menarik. Apalagi, ia memang agak sesuai dengan salah satu elemen dalam kultur politik kita yang sering menekankan konsensus, kompromi, dan dialog dalam berhadapan dengan masalah-masalah yang ada. Setiap berhadapan dengan sebuah impasse, kita selalu berseru agar para elite bertemu, berkumpul mencari jalan ke luar bersama.

Namun, betapapun menariknya solusi semacam ini, saya tetap melihat bahwa ia mengandung berbagai kelemahan yang tak terhindarkan. Salah satunya adalah masalah teknis yang terkait dengan setiap proses pembagian kekuasaan. Bagaimana porsi pembagian peran dan tanggungjawab dari segelintir kaum elite yang terlibat dalam kesepakatan itu? Bagaimana perbedaan kekuatan dan dukungan riil dari tokoh-tokoh ini tercermin dalam perumusan kebijakan dan pengelolaan roda pemerintahan?

Dalam arena ekonomi, misalnya, pemerintah harus mengambil serangkaian kebijakan, dari penentuan anggaran tahunan, pajak, utang, nasib BUMN hingga ke hubungan kita dengan IMF dan Bank Dunia. Siapa yang bertanggungjawab terhadap apa? Haruskah pengambilan kebijakan terpenting dipercayakan pada tokoh PDI-P dan Golkar, dua partai dengan dukungan rakyat terbesar, serta soal yang remeh-temeh diberikan pada tokoh-tokoh PAN, PKB, PPP dan elite nonpartai? Maukah mereka diberi porsi remeh-temeh? Bagaimana persisnya pengaturan semacam ini?

Karena rumitnya, saya khawatir bahwa solusi kesepakatan elite hanya mengalihkan persoalan yang ada, bukan menyelesaikannya. Memang, persoalan teknis demikian bisa dihindari dengan asas “semua untuk satu, satu untuk semua”. Tapi, dengan begini, kita berhadapan dengan persoalan lain lagi, sebuah persoalan yang lebih bersifat prinsipiil ketimbang sekadar persoalan pengaturan teknis kekuasaan.

Jika PDI-P dan PAN misalnya, masing-masing dengan 34% dan 7% dukungan suara rakyat, diberi peran dan tanggung jawab yang sama dalam menentukan soal-soal besar yang kita hadapi, sesungguhnya buat apa lagi kita menyelenggarakan pemilu? Bukankah pesta demokrasi ini justru diadakan untuk melihat pilihan-pilihan rakyat? Tidakkah sistem demokrasi, sebagai sebuah metode pengambilan keputusan publik, diterapkan justru agar perbedaan pilihan-pilihan demikian tercermin dalam proses perumusan kebijakan pemerintah, baik di lembaga eksekutif maupun legislatif?

Karena berbagai kelemahannya, saya cenderung menganjurkan agar kita berpikir secara mendalam sebelum mencoba solusi kesepakatan elite. Solusi ini hanya bisa diterima jika jalan lain memang sudah tidak ada, atau kalaupun ada, ia akan melahirkan situasi yang lebih buruk lagi.

Untungnya, dalam menghadapi dilema transisi demokrasi, kita sebenarnya masih memiliki pilihan lain. Asumsi dasar dari solusi yang berbeda ini adalah perlunya penciptaan kekuatan riil yang bisa mendominasi panggung politik, paling tidak hingga Pemilu 2004. Persoalan politik, seperti kata Machiavelli, harus diselesaikan dengan power politics, bukan dengan nasihat-nasihat moral serta imbauan-imbauan normatif agar kaum elite bertemu dan membuat konsensus.

Dalam kondisi kita sekarang, persyaratan bagi munculnya kekuatan besar yang sanggup mendominasi panggung politik hanya bisa tercapai jika PDI-P dan Golkar membangun koalisi bersama. Dukungan suara rakyat buat keduanya hampir mencapai 60 persen, sebuah jumlah yang memadai untuk digunakan sebagai modal politik bagi pemerintahan yang efektif. Dengan kekuatan riil yang dimilikinya, koalisi kedua partai ini dapat mengambil langkah-langkah kebijakan baru yang tegas, memberi kepastian politik dan melembagakan demokrasi.

Jalan ke luar semacam ini secara teknis lebih mudah (membagi kekuasaan di antara dua partai dengan jumlah suara hampir sama jauh lebih sederhana) serta secara prinsipiil tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah demokrasi. Dalam hal yang terakhir ini kita harus ingat bahwa demokrasi bermula dan berakhir di kotak suara. Hingga pemilu berikutnya PDI-P dan Golkar memiliki hak penuh untuk memegang kendali utama roda pemerintahan di negeri kita.

Pertanyaan kita kemudian tentunya: mungkinkah koalisi demikian terwujud? Bagaimana prosesnya? Bukankah PDI-P dan Golkar dalam Pemilu 1999 merupakan seteru yang saling menggigit? Yang satu besar karena menjadi korban Orde Baru, yang lain karena menjadi alat Orde Baru—mungkinkah keduanya bertemu?

Jawaban saya, sangat mungkin. Dalam politik tak ada kawan dan musuh abadi. Secara ideologis kedua partai ini sesungguhnya hampir tidak memiliki perbedaan mendasar. Selain itu, proses politik di lembaga legislatif yang terjadi sekarang, yaitu penentuan Memorandum Kedua dan SI MPR buat menentukan nasib Gus Dur, tampaknya sedang menggiring terjadinya koalisi besar itu secara alamiah. Kalau proses ini berlanjut dan mandat Gus Dur ditarik kembali, Megawati otomatis akan menjadi presiden dan Akbar Tandjung berpeluang besar untuk menempati posisi kedua di RI. Kalau semua ini terjadi, setidaknya secara de facto PDI-P dan Golkar sudah berada dalam perahu yang sama, dan perumusan koalisi besar yang dominan tinggal selangkah lagi.

Tentu saja semua itu bisa gagal. Proses penentuan memorandum buat Gus Dur dapat berhenti di tengah jalan dan kita kembali melihat dunia politik yang berputar di tempat. Di sinilah terletak peran kaum pemimpin yang mampu bertindak dan melihat jauh ke masa depan. Mampukah Megawati dan Akbar Tandjung menjadi historical actors, pelaku-pelaku sejarah yang membawa rakyatnya ke arah perubahan fundamental? Beranikah mereka?

Dengan kekuatan dan dukungan riil yang mereka miliki, keduanya sekarang memperoleh kesempatan emas untuk berbuat sesuatu yang sangat bermanfaat bagi orang banyak. Semoga mereka merebut kesempatan ini.

25 April 2001

Enjoyed this article? Stay informed by joining our newsletter!

Comments

You must be logged in to post a comment.